Kamis, 12 April 2012

Etika Komunikasi Individual ke Sistem Sosial

Saya akan mengawali tulisan ini dengan mengemukakan contoh sebuah kisah seseorang lelaki sebut saja si B. Di  lingkungan rumah tangganya, si B ini dikenal sebagai suami kalem pendiam, lemah lembut budi bahasanya dan tidak neko-neko. Entah tepat/ tidak, lelaki semacam itu menurut saya terbilang pada kategori suami yang takut pada istri karena ada kesan dominasi kendali rumah tangganya dipegang oleh istri meski sosok kepala rumah tangga secara kasat mata tetaplah pada diri si B. Namun, lain kondisi lain pula kisahnya. Si B yang kalem itu ternyata dikenal sebagai atasan dan juga rekan kerja yang garang. Tutur katanya yang kalem berubah total menjadi “beringas” ketika dia sudah memasuki dunia kerja. Tak jarang bawahannya menjadi sasaran bulan-bulanan semburan kata-kata dan juga tingkah laku yang sebetulnya lebih tepat disebut kasar ketimbang tegas. Ia adalah sosok yang mendominasi dan tak kenal kompromi. Amat berbeda dengan sosok si B sebagai suami di rumahnya.

Kisah yang kedua bercerita tentang seseorang lelaki lain sebut saja si K. Ia adalah sosok warga masyarakat yang dikenal jujur dan mau berkiprah secara sosial dalam lingkungan kampung. Dalam urusan uang/kas RT, ia sering diminta mengelola dan pelaksanaannya beres-beres saja. Tapi tunggu dulu. Lain si K di rumah lain pula si K di tempatnya bekerja. Karir yang mengantarkan si K sehingga berhasil menduduki posisi penting dalam lingkungan instansi tempat dia bekerja ternyata telah merubah karakter atau tepatnya telah membuat dia menjadi seseorang yang berkarakter lain  dibanding sosoknya yang dikenal di lingkungan rumah tangga atau kampungnya. Singkat cerita, si K dikabarkan terlibat dalam sebuah kasus korupsi yang merugikan negara dalam jumlah yang cukup mencengangkan.

Apa yang sama dan berbeda dari kedua cerita tersebut? Persamaannya, di antara keduanya kita menemukan adanya kesenjangan antara karakter perilaku seseorang dalam lingkup pribadi dan lingkup sosial. Perbedaaanya, di antara kedua perilaku tersebut kita menerapkan standar penilaian etika yang berbeda. Kisah si B berkaitan dengan etika keramahan kelembutan dalam berkomunikasi sedangkan dalam diri si K yang kita persoalkan adalah etika perilaku yang berkaitan dengan nilai kejujuran. Menilai tingkah laku (komunikasi seseorang) menurut tolok ukur norma yang menjadi dasarnya adalah termasuk penilaian etika komunikasi. Penilaian etika berfokus pada tingkat-tingkat kebenaran dan kesalahan dalam perilaku manusia. Ketika kita mengecam seseorang karena tidak efisien, konfromis, boros, malas/lamban, kita mungkin tidak akan serta merta menyebutnya tidak etis. Namun, standar-standar seperti kejujuran, menepati janji, dapat dipercaya, adil dan manusiawi biasanya memang digunakan untuk membuat penilaian etika tentang kebenaran dan kesalahan dalam perilaku manusia.

Tulisan ini selanjutnya tidak hanya mempersoalkan penilaian etis terhadap sekelumit contoh fenomena keseharian yang sudah diutarakan di depan. Dengan teramat sederhana dan jauh dari kata sempurna, tulisan ini akan lebih banyak melihat bagaimana seseorang dalam konteks situasi yang berbeda mengesankan adanya perbedaan karakter perilaku yang berbeda yang tentunya mengandung perbedaan nilai dilihat dari standar perilaku komunikasi etisnya. Lebih jelasnya masalah pokok tulisan ini adalah mencoba menjawab persoalan berikut :Bagaimana kita bisa menjelaskan, dengan perspektif etika komunikasi, perbedaan karakter seseorang utamanya dilihat dari perilaku komunikasinya ketika berada dalam ranah yang berbeda misalnya dalam ranah interaksi individu (interpersonal) dan ranah sosial (sistem sosial)?

Beberapa catatan teoritis yang menjelajahi persoalan kepelikan manusia sebagai subjek yang harus senantiasa mengambil pilihan sadar untuk berperilaku komunikasi tertentu sehingga bisa diteropong kadar etis tidaknya, setidaknya membawa saya untuk bisa melakukan refleksi terhadap penilaian etika komunikasi sebagaimana dimulai dalam tulisan ini. Namun, harus disadari bahwa tidak semua kejadian bisa diteropong  secara transparan dengan dua kriteria : etis atau tidak etis. Selain harus memperhatikan faktor situasional dan dengan demikian harus melihat persoalan dalam perspektif situasinya, kita juga harus mengakui bahwa manusia adalah makhluk yang senantiasa diliputi misteri.
Sekarang bagaimana dengan kasus si B dalam awal tulisan ini? Dengan memperhatikan perspektif teori dan beberapa catatan, saya cenderung hanya berkomentar bahwa tidak ada yang perlu dipersoalkan dengan si B. Salah satu jawabannya, karena bagaimanapun si B tengah memainkan diri sebagai aktor dalam dua buah panggung  yang jelas-jelas berbeda settingnya. Dalam konsepsi dramaturgis, perilaku si B adalah contoh ketika seseorang dengan sengaja melakukan pengelolaan kesan yang ia harapkan tumbuh pada orang lain terhadapnya. Kalaupun hendak dipersoalkan mengenai kadar etis tidaknya perilaku dia adalah pada setting tempat dia bekerja. Itupun mungkin hanya jatuh pada penilaian perilaku komunikasi antar personanya yang tidak menyenangkan.  Dan kalau sudah sampai pada tolok ukur menyenangkan atau tidaknya seseorang maka sanksi yang patut dijatuhkan hanyalah bahwa orang lalu cenderung hanya berhubungan dengan si B dalam tataran hubungan fungsional semata. Tentunya kita harus mengakui bahwa dalam setiap individu ada ruang-ruang pribadi yang bisa dimasuki oleh orang lain dan yang tidak. Orang yang memiliki perilaku komunikasi yang tidak menyenangkan biasanya juga tidak berkesempatan untuk memasuki ruang pribadi dalam batin seseorang. Lalu bagaimana dengan tokoh kedua yang kita tampilkan di awal tulisan ini? Menurut saya, dalam kasus si K kita menemukan titik awal yang mudah  dijadikan pijakan untuk melakukan kajian etika komunikasinya. Pertama, kita akan begitu mudah menilai kadar etis tidaknya seseorang ketika akibat yang ditimbulkan atas perbuatan seseorang itu membawa implikasi yang cukup besar bagi orang-orang disekitarnya. Kedua, kejujuran dan tidak adalah konsep nilai yang paling mudah diterjemahkan dalam ukuran operasionalnya. Dan jelas si K akan mendapat penilaian yang tidak lulus. Namun sebagaimana saya janjikan dalam tulisan ini, kita tidak cukup hanya sampai pada penilaian etis tidaknya seseorang melainkan mempersoalkan mengapa seseorang menjadi tidak konsisten utamanya ketika kita melihatnya dari satu nilai ukuran yang sama untuk dua situasi yang berbeda.  Dengan kata lain, bagaimana seseorang bisa jujur dalam konteks lingkungan komunikasi pribadi (antar persona atau kelompok kecil) tetapi juga tidak jujur dalam situasi sosial ? Dalam kasus si K sebenarnya kita akan berurusan dengan karakter moral seseorang. Pertimbangan sifat karakter moral dalam penilaian etika komunikasi dapat dilihat dari deskripsi para ahli etika sebagaimana ditulis DeGeorge (dalam Johannesen 1996 : 11) berikut: Seseorang yang menurut kebiasaan cenderung bertindak secara moral sebagaimana mestinya berarti memiliki karakter yang baik. Jika terbiasa bertindak secara tidak bermoral, ia memiliki karakter yang jelek secara moral. Bila kita terapkan dalam diri si B maka patut dipertanyakan apakah sesungguhnya si K memang memiliki karakter moral yang jelek (tidak jujur)bahkan ketika sedang menjalankan peran sebagai “orang jujur “ di kampung? Apakah karena perbedaan situasi artinya karena godaan yang lebih menggiurkan sehingga ia memilih  untuk berkehendak tidak jujur? Seandainya memang ternyata si K adalah orang yang karakter moralnya tidak jujur maka perilaku dia di kampung sesungguhnya hanyalah model permainan peran pengelolaan kesan yang semata dikendalikan tujuan tertentu. Dalam hal inilah kita bisa mengatakan bahwa sifat asasi manusia yang senantiasa menjadi pemain dalam panggung sandiwara kehidupan tidak selamanya luput dari resiko jatuh pada perilaku tidak etis. Lalu pertanyaan yang kemudian tiba-tiba muncul di benak saya adalah : apakah ketika “diri” dalam sosok si K yang terkonstruksi sebagian oleh super ego-nya ( tradisi baik buruk; norma salah benar yang dihunjamkan dan dikonstruksikan sebelum kesadarannya tumbuh dewasa )  dan sebagian lain ditentukan serta dikonstruksikan oleh naluri insting libido untuk terus hidup senantiasa bisa lepas dari penilaian etis?  Dalam hal ini saya hanya bisa berkomentar bahwa proses terjadinya “diri” secara internal dalam diri seseorang adalah memang bukan wilayah etika, ia akan menjadi persoalan ketika “diri” itu sudah mengejawantah dalam tindakan-tindakan, khususnya tindakan yang membawa implikasi bagi orang–orang lain. Sedangkan tindakan yang akan membawa implikasi bagi “diri”nya sendiri kita serahkan saja pada yang namanya HATI NURANI.

Pada awal tulisan ini dibuat ada semacam harapan bagi saya untuk bisa membuat semacam analisis filsafat moral tentang fenomena perilaku komunikasi seseorang seperti beberapa contoh yang saya tuliskan. Namun pada akhirnya, saya harus mengakui bahwa kemampuan saya untuk melakukan telaahan etika ternyata tidak cukup memadai sehingga saya terpaksa berperangai sebagai “ilmuwan” dan bukan belajar untuk menjadi “filsuf”. Dengan mengutip beberapa perspektif teori yang hanya sekelumit saya tahu saya tidak yakin apakah tulisan ini memang layak disebut pelajaran etika atau filsafat moral. Namun dari usaha yang kecil ini setidaknya saya bisa menarik kesimpulan betapa sesungguhnya mempelajari etika (komunikasi) dan itu berarti  mempraktekkan etika (secara normatif) dan tidaklah sesederhana yang saya bayangkan. Manusia adalah sekali lagi merupakan sosok yang demikian misterius. Ia menjadi manusia justru karena senantiasa diberi kebebasan untuk berkehendak dan memilih. Padahal manusia itu ternyata berdiri pada kontinum antara posisi bebas dan sekaligus juga tidak bebas. Ia bahkan hampir tidak bisa bebas menentukan makna hidupnya karena “diri” dalam dirinya juga tak luput dari konstruksi relasi sosial ekonomi dan kultural. Perumusan “diri” manusia sebagai subjek oleh otonom kesadarannya dalam dirinya, tepat pada struktur kepibadiannya, juga tidak otonom lagi karena dikonstruksikan oleh super ego dan id (naluri kelangsungan hidup). Kalau sudah demikian, dapatkah etika memaksakan seseorang untuk senantiasa sadar akan apa yang menjadi diri dan kehendaknya? Saya tidak menemukan jawaban itu.Yang pasti ketika seseorang senantiasa untuk belajar mengenal dirinya dan senantiasa sadar untuk menjadi pemenang ketika terjadi pertentangan antara I dan Me  dalam dirinya, dengan  bercermin pada nilai-nilai (sosial) yang lebih luas ketimbang nilai-nilai pribadi yang masih dalam kuasa definisinya, maka seseorang itu akan menjadi sosok yang mendekati etis. Kesadaran adalah kunci yang paling tepat ketika kita akan mencoba mentransformasikan etika komunikasi pribadi dalam sistem sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar