Senin, 25 Oktober 2010

Perihal Yang Baik

Perihal Yang Baik

Free writing fiksi atau menulis bebas fiksi mensyaratkan pembebasan kreativitas dengan menggali ke dalam diri kita sendiri (pengalaman, ide, nostalgia dll) hingga menghasilkan mission statement. Intinya, dengan menjadi diri kita sendiri maka pintu kreativitas akan terbuka lebar sehingga terbentuk energi alamiah kepenulisan yang mengantarkan kita pada ciri-ciri tulisan yang baik. Hukum besi semesta berkata bahwa sesuatu yang lahir dari hati akan sampai ke hati dan sebuah ketulusan akan melumerkan kekerasan hati. Menetapkan Niat : Mengapa Kita Menulis? “Lebih banyak pelaku bisnis yang gagal daripada seniman yang gagal.” Segala sesuatu diawali dengan niat. Apapun perbuatan kita tentu ada niat atau motivasi yang melandasi. Termasuk ketika kita menulis. Inilah software dalam diri kita yang harus ditata terlebih dahulu sebelum berkutat dengan segala detil teknis penulisan seperti ide, plot atau ending. Untuk apakah kita menulis? Uang? Ideologi? Terapi penyembuhan diri (trauma healing)? Dalam konteks trauma healing, kita dapat merujuk pada Paulo Coelho yang dalam novel The Al Chemist menyarankan agar kita menuliskan segala kesedihan atau perasaan yang mengganggu dalam selembar kertas dan melarungkannya ke sungai. Niscaya kesedihan atau kekuatiran akan sirna. Habiburrahman Syaerozy, contohnya. Dengan sebuah niatan memperbaiki akhlak bangsa melalui tulisan, aktivis Forum Lingkar Pena (FLP) cabang Kairo ini tergugah untuk menghasilkan karya sastra yang menghibur dan mencerahkan. Alhasil, meluncurlah dari guratan tangannya Ayat-Ayat Cinta novel yang laris secara fenomenal dan diangkat ke layar lebar maupun Di Atas Sajadah Cinta, yang kemudian diangkat menjadi sebuah sinetron rating atas di sebuah TV swasta. Termasuk beberapa buku bernada serupa. Yang paling anyar adalah dwilogi Ketika Cinta Bertasbih yang diluncurkan pada Milad ke-10 FLP pada 2006 dan langsung dua kali cetak ulang dalam 1 bulan! Lalu, salahkah jika kita ingin menulis semata-mata karena uang? Kawan-kawan penulis yang banyak saya ketahui yang bermotivasi menulis semata-mata karena materi pun umumnya banyak yang mutung, tidak lagi menulis setelah berbagai penolakan. Jika tidak, mereka meracau merutuki nasib atau bahkan menyalahkan orang lain terutama penerbit dan redaksi media. Mereka sibuk menuding kesana-kemari kecuali kepada dirinya sendiri. Mereka lupa bahwa seperti wejangan Eka Budianta, sang penyair seangkatan Rendra menulis adalah memberi. Dalam logika bisnis yang terkadang turut mengikat aktivitas menulis, menjual termasuk ‘menjual’ tulisan adalah melayani dan memberi. Keikhlasan melayani atau memberi terhadap kebutuhan konsumen justru akan menimbulkan market demand dalam bentuk repeat order (order yang berulang). Kelimpahan materi adalah efek sampingnya. Inilah sisi lain yang kerap diabaikan para penulis yang bermotivasi menulis semata-mata karena materi.

Jadi, menulislah tanpa beban, ujar Kuntowijoyo salah satu sastrawan favorit saya dan hanya ada tiga cara untuk menjadi penulis, yaitu dengan menulis, menulis dan menulis. Menulislah seikhlas meludah atau buang hajat. Seorang Habiburrahman Syaerozy juga tak menyangka jika Ayat-Ayat Cinta yang royaltinya untuk infaq pesantren akan laris manis hingga dicetak ulang berkali-kali dalam waktu singkat. JK Rowling yang hanya seorang guru miskin di Inggris pun tak pernah bermimpi jika Harry Potter akan mendunia padahal semula ia hanya menuliskan khayalan masa kecilnya. Dalam bahasa (alm) KH Abdullah Syafi’ie, seorang ulama kharismatik Betawi era 70an, ”Nanem padi rumput ikut, nanem rumput padi luput.” Tujuan yang lebih dari “sekadar” materi akan menuntun kita pada tujuan sampingan seperti materi dan popularitas. Kutipan perkataan John Gardner di atas pun sebenarnya tak terhenti di situ saja. Ada kalimat pamungkas yang menjadi kuncinya, yakni, “Walaupun demikian, dalam sekolah bisnis, optimismelah yang selalu berjaya.” Ya, optimismelah selain motivasi yang juga membedakan ketangguhan seseorang, termasuk seorang penulis. Bukankah gagal itu biasa dan bangkit dari kegagalan itu baru luar biasa? “Uang hanyalah sebuah ide.” Jika uang hanyalah sebuah ide maka memperbanyak ide sebanyak-banyaknya sama saja dengan mengembangbiakkan uang yang akan didapat. Dalam konteks industri kepenulisan yang aroma bisnisnya tak beda jauh dari industri real estate yang ditekuni Kiyosaki yang juga penulis buku Rich Dad Poor Dad ide harus ditangkap bahkan harus diternakkan. Ibarat hewan ternak, ia harus dirawat, dikembangbiakkan dan tak ayal dijual. Lihat saja fenomena novel Ayat-Ayat Cinta-nya Habiburrahman El-Shirazy atau Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang menuai royalti milyaran rupiah dan menjejak dunia layar lebar. Inilah contoh nyata betapa ide bagi seorang penulis tak ubahnya hewan ternak yang merupakan aset tak ternilai. Jika ide adalah hewan liar maka ia harus ditangkap, dijinakkan, didomestikasi. Seperti halnya orang-orang dulu mendomestikasi kuda atau unta untuk menjadi tunggangan yang bermanfaat untuk keperluan manusia. Sarana penangkapnya bisa dengan banyak cara. Hemmingway menangkap ide dengan jalan mengetik apa saja di mesin ketiknya jika mengalami kemampatan ide. Gola Gong melakukan perjalanan keliling dunia untuk menjaring ide Balada Si Roy dan Perjalanan di Asia. A.A Navis memilih nongkrong di toilet berjam-jam hingga konon ia terserang wasir demi mengejar sang ide. Beberapa penulis lain ada yang menenggelamkan diri dalam tumpukan buku, ngopi di kafe dengan laptop siaga di ujung jari atau sekedar bermain voli untuk menjinakkan makhluk bernama ide ini. Intinya: ide harus ditangkap. Karena ide juga ibarat sambaran kilat. Jika tak cekatan disergap, ia akan meluncur menghunjam bumi dan teredam, tak berdayaguna apa-apa. Maka tangkaplah ide dengan keberanian Benjamin Franklin sang penemu arde alias penangkal petir menangkap petir dengan layang-layang yang digantungi kunci besi pada benangnya di tengah hujan deras yang ramai kilat. Sebuah keberanian bernyali dengan keingintahuan yang besar dan semangat mencoba sesuatu yang baru.
Nama : Nindiyah Puspitasari
Kelas : 3KA12
NPM : 11108424
Link :
http://gunadarma.ac.id
http://repository.gunadarma.ac.id
http://library.gunadarma.ac.id
http://community.gunadarma.ac.id
http://pasca.gunadarma.ac.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar